Ajakan Keadilan: Achmad Kuntjoro KAI

Mari kita Terus Gaungkan Keadilan dan berantas penindasan, Mari kita dukung Direktur Keuangan PT Kereta Api Achmad Kuntjoro, tersangka kasus dugaan korupsi investasi PT Kerata Api dengan PT Optima Kharya Capital Manajemen
LAPORAN RINGKAS INVESTASI PT. KA (PERSERO) ATAS INVESTASI PT. OPTIMA KHARYA CAPITAL MANAJEMEN

1. PT. KA melakukan investasi Discretionary Fund, 100% Capital Protected di PT Optima senilai Rp. 100.000.000.000,- ( seratus milyar rupiah) dengan bunga 11.5% netto/th, selama 6 (enam) bulan, pada tanggal 24 Juni s/d 24 Des 2008 berdasarkan peraturan yang berlaku seperti: Beauty Contest, Ijin Komisaris, serta Sistem dan Prosedur sesuai Anggaran Dasar Perseroan.

2. Pada saat jatuh tempo, PT. Optima tidak dapat melunasi kewajibannya walaupun selama Perjanjian berjalan kewajiban bunga selalu dipenuhi.

3. Setelah melalui diskusi panjang PT. Optima sepakat melakukan Perjanjian Hutang Piutang dengan bunga 12% netto/th selama 12 (duabelas) bulan dengan PT. KA melalui fasilitator Jamdatun, Jaksa Pengacara Negara dari Kejagung pada tanggal 27 Juli 2009 s/d 27 Juli 2010.

4. Melalui serangkaian wwancara s/d penyidikan, Polda Jabar menjadikan Sdr Ronny Wahyudi, Achmad Kunjtoro, Widyasono, Mulyana, Bambang Sulistyo dari PT KA dan Sdr Antonius Siahaan, Haryono Kesuma, dan Harry Setiawan sebagai Tersangka pada Oktober 2009 serta akhirnya menahan Sdr Achmad Kuntjoro dan Widyasono dari PT KA, Sdr Antonius Siahaan dari PT. Optima dengan tuduhan berbeda-beda.

5. Tuduhan terhadap Sdr A. Kuntjoro adalah pelanggaran pasal 2 dan 3 UU no. 31 thn 1999 tetang Pemberantasan Pidana Korupsi TIDAK TERPENUHI.

6. Setelah 57 (lima puluh tujuh) hari penahanan, A.Kuntjoro ditangguhkan penahanannya karena tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dituduhkan Polda Jabar sebagaimana penjelasan yang diberikan oleh Saksi Ahli yang menandatangani BAP yang meringankan, terdiri dari : 1. Prof. DR. Arifin P. Soeria Atmadja, SH. 2. Prof. DR. Erman Radjaguguk 3. Suharnoko, SH, LLM 4. DR. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH.

7. Kesimpulan dari Saksi Ahli yang meringankan tersebut diatas adalah sbb:

a. Tindakan Hukum yang dilakukan oleh Direksi PT.KA sudah sesuai dengan hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

b. Perjanjian antara PT KA dengan PT.Optima merupakan perbuatan HUKUM PERDATA murni sehingga tidak ada satupun instansi pemerintah/ Kepolisian yang berwenang melakukan intervensi Hukum terhadap Perjanjian Perdata yang dilakukan oleh PT KA dan PT Optima.

c. Keuangan yang dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh PT.KA bukan merupakan keuangan negara.

d.A.Kuntjoro sebagai Direktur Keuangan adalah sebagai juru bayar perusahaan dan oleh sebab itu dapat ditiadakan pertanggungjawabannya sebagaimana pasal 51 ayat 1 KUHP: ” Barang siap melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan penguasa yang berwenang, tidak dipidana”

e. Unsur melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tidak terpenuhi.

f. Pemerintah dalam hal ini Polda Jabar berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata dapat digugat telah melakukan PENYALAHGUNAAN WEWENANG ( ONRECHTSMATIGE OVERHEIDSDAAD)

8. Sejak 23 Des 2009, A.Kuntjoro telah ditangguhkan selama 2.5 bulan dan berkas Perkara telah dikembalikan oleh pihak Kejati Jabar kepada Polda Jabar (P.19) namun statusnya sebagai Tersangka belum dicabut apalagi pengembalian nama baiknya.

Sumber: BAP (LAPORAN RINGKAS INVESTASI PT. KA (PERSERO) ATAS INVESTASI PT. OPTIMA KHARYA CAPITAL MANAJEMEN)

Proyek Remunerasi Model Sri Mulyani, Proyek Kencemburuan Sosial

Proyek Wah Remunerasi Model Sri Mulyani

INILAH.COM, Jakarta – Tak ada politisi yang menolak program perbaikan kesejahteraan pegawai negeri. Yang membuat politisi bergejolak adalah, kenapa Departemen Keuangan yang dijadikan pilot project remunerasi oleh Sri Mulyani? Terlalu dipaksakan dan berpotensi menimbulkan kecemburuan.

Waktu itu DPR sedang menjalani masa reses. Hari Senin, tanggal 6 bulan Agustus 2007. Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR periode 2004-2009, akhirnya menyetujui usulan pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, untuk mengalokasikan dana sebesar Rp 5,46 Triliun untuk reformasi birokrasi.

Disepakati, anggaran itu akan dibebankan pada APBN 2008. Sebagai pilot project, program akan diberlakukan di Departemen Keuangan. Saat itu, Menkeu Sri Mulyani meyakinkan bahwa dana sejumlah itu sudah tersedia bagi semua lembaga negara maupun departemen dan kementerian untuk periode 2008.

Sri Mulyani merinci, anggaran gaji baru untuk 62.000 pegawai Depkeu tahun 2007 sebesar Rp 3,496 triliun. Sementara, empat lembaga lainnya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Mahkamah Agung, akan me*erima anggaran remunerasi mulai Tahun Anggaran 2008 setelah menyelesaikan program reformasinya.

Jadi, untuk tahun 2008, total anggaran pendukung reformasi bi*rokrasi pada kelima lembaga itu mencapai Rp 5,45 triliun. Namun, Sri Mulyani mengungkapkan, dari situ pemerintah juga akan memperoleh penerimaan Rp 700 miliar untuk dimasukkan ke kas negara. Bentuknya, Pajak Penghasilan (PPh) pegawai yang mendapatkan remunerasi tersebut.

Nah, khusus untuk tahun 2007, dalam pos anggaran belanja pegawai dan lain-lain dalam negeri terdapat dana sebesar Rp 1,999 triliun. Dana itu sudah dipakai Rp 1,588 triliun, sehingga tersisa Rp 410 miliar. Dengan demikian, ada kekurangan dana Rp 1,497 triliun untuk memenuhi kebutuhan remunerasi.

Inilah kemudian yang dipermasalahkan beberapa anggota dewan. Sebab, untuk menutupi kekurangan anggaran itu, Sri Mulyani meminta izin Panitia Anggaran untuk menggunakan dana dari pos anggaran lain. Yakni pos anggaran belanja pegawai transito, yang kemudian dimasukkan ke pos anggaran belanja pegawai lain-lain dalam negeri.

Pos anggaran belanja pegawai transito, yang dikelola oleh Depkeu, belakangan ternyata tidak diketahui oleh anggota Panitia Anggaran DPR. Artinya, ada pos-pos di Depkeu yang secara sengaja tidak dilaporkan kepada Panitia Anggaran.

Dari sinilah, Depkeu sebagai pilot project program remunerasi bisa dimulai. Sebab, program penambahan penghasilan pegawai tidak memerlukan tambahan dana. Depkeu hanya memindahkan dana dari pos anggaran lain ke pos anggaran belanja pegawai.

Reformasi Birokrasi kemudian dimulai di Depkeu. Program itu meliputi kenaikan gaji dan tunjangan pegawai, pembenahan organisasi, serta peningkatan transparansi dan pelayanan. Prioritas program remunerasi ini adalah untuk pegawai karir. Penghargaan diutamakan untuk karyawan yang memang berkarya dari bawah.

Selain itu, dilakukan juga penataan organisasi dengan membentuk kantor pajak modern, memfungsikan Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea & Cukai di Tanjung Priok dan Batam, dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang baru terbangun 18 kantor dari 30 kantor yang direncanakan.

Selanjutnya, program ini menimbulkan reaksi meski disetujui oleh Panitia Anggaran DPR. Komisi XI DPR yang menjadi mitra kerja Menteri Keuangan merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan remunerasi gaji pegawai Departemen Keuangan. Hal itu karena belum ada pembicaraan mengenai alokasi anggaran antara Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan.

Ketua Komisi XI DPR RI waktu itu, Awal Kusumah mengatakan, Depkeu baru menjelaskan program reformasi birokrasi secara umum. Depkeu, belum mengungkapkan secara rinci kebutuhan tambahan anggaran remunerasi sebagai implikasi dari program reformasi birokrasi. Apalagi, remunerasi yang dimaksud adalah Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN).

Walhasil, Panitia Anggaran DPR menyetujui program itu dengan berbagai catatan. Yaitu, meminta penjelasan rinci mengenai rencana besar reformasi birokrasi. Terutama, tentang tidak diperlukannya tambahan anggaran karena Depkeu hanya memindahkan dari pos anggaran lain ke pos anggaran anggaran belanja.

Malah, Ketua Panitia Anggaran, Emir Moeis dari F-PDIP, menegaskan bahwa persetujuan anggaran reformasi birokrasi itu akan dibicarakan secara khusus dalam panitia kerja yang akan dibentuk oleh panitia anggaran. Sehingga, remunerasi birokrasi bisa dilaksanakan ke seluruh lembaga. Bukan Depkeu saja!

F-PAN dalam Sidang Paripurna DPR yang menerima program remunerasi Depkeu, akhirnya memberikan catatan terhadap hasil sidang. Intinya, F-PAN menolak program itu karena beberapa alasan. Saat itu, F-PAN dimotori oleh almarhum Marwoto, Dradjad Wibowo dan

Nasril Bahar. Alasan itu antara lain:

Pertama, Depkeu gagal mengamankan penerimaan perpajakan. Ibarat pimpinan perusahaan, Menteri Keuangan gagal mencapai target tapi meminta tambahan bonus. Bagi F-PAN, itu lucu.

Kedua, negara masih mengalami defisit anggaran. Bahkan ada tren yang meningkat dalam tiga tahun terakhir. Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah menambah utang baru, baik utang dalam negeri maupun luar negeri, di samping privatisasi BUMN.

Ketiga, pemberian remunerasi ini akan menyakiti rasa keadilan bagi rakyat miskin maupun PNS di kementerian atau lembaga lainnya.

Keempat, Keppres No 15/1971 tidak bisa dijadikan dasar hukum reformasi birokrasi karena Keppres ini hanya mengatur masalah tunjangan khusus bagi pegawai Depkeu.

Kelima, usulan permintaan anggaran untuk remunerasi Depkeu pada RAPBN-P 2007 belum melalui pembahasan di Komisi XI sebagai mitra kerja Depkeu.

Berarti secara prosedural, pembahasan dan persetujuan terhadap alokasi anggaran untuk remunerasi Depkeu ini telah melanggar Tata Tertib DPR Pasal 37 Ayat (2) huruf e, f dan g.

Karenanya, dalam catatan akhir sidang, FPAN menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap kemungkinan terjadinya implikasi negatif pada APBN 2007 dan tidak bertanggung jawab bila terjadinya risiko resistensi publik.

Selanjutnya, F-PAN menilai bahwa keputusan untuk memberikan dana tunjangan khusus atau remunerasi bagi pegawai Depkeu dinilai akan menjadi biang masalah di masa mendatang. Ada sekitar 4 juta PNS di Indonesia dan tidak mencerminkan keadilan jika hanya PNS Depkeu yang menerimanya, apalagi jika dibandingkan dengan kinerja departemen tersebut selama ini.

Kalau memang akan memberikan insentif, harusnya tidak diberikan pada satu departemen. Ada 28 departemen dalam kabinet. Jangan sampai kebijakan itu menimbulkan cemburu bagi PNS di departemen lain.

Selain itu, berdasarkan data empiris, realisasi penerimaan pajak tahun 2006 tidak mencapai target. Demikian juga berdasarkan data penerimaan pajak tahun 2007 dalam semester I (1/1-2007 sampai dengan 30/6-2007) realisasi penerimaan pajak hanya mencapai netto Rp 155 triliun dari target Rp 411 triliun yang secara proporsional seharusnya pencapaian target penerimaan pajak semester 1 tahun 2007, sudah harus mencapai kurang lebih 50 persen dari total target 2007 atau sebesar kurang lebih Rp 205 triliun. Itu berarti shortfall sekitar Rp 50 triliun.

Demikian juga dalam APBN Pertambahan TA 2007 yang telah diputuskan dalam rapat kerja Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan tanggal 6 Agustus 2007 penerimaan pajak turun Rp 20,04 triliun.

Data tersebut menggambarkan bahwa reformasi birokrasi yang selama ini telah dijalankan ternyata tidak mencapai sasaran. Padahal program ini merupakan program remunerasi berbasis kinerja yang ternyata tidak mencapai hasil sebagaimana diharapkan.

Karenanya, merupakan sebuah ironi, dimana pemberian remunerasi ini karena anggaran APBN sebenarnya defisit. Defisit anggaran TA 2007 adalah 1,54 persen terhadap PDB dan defisit anggaran TA 2008 diproyeksikan 1,7 persen terhadap PDB atau sebesar Rp 75 triliun.

Sumber utama pembiayaan defisit tersebut adalah dari utang baik utang dalam negeri maupun luar negeri disamping ditambal dari privatisasi BUMN.

Dari sini berarti bahwa tidak ada korelasi positif antara usulan anggaran untuk remunerasi Depkeu dengan kemampuan keuangan Negara. Secara psikologis, fokus pembangunan adalah melakukan program-proram yang pro rakyat sebagaimana pidato Presiden, yaitu pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

http://www.inilah.com/news/read/poli…sri-mulyani-1/
http://www.inilah.com/news/read/poli…sri-mulyani-2/

—————-

Paradigma pemikiran yang berpendapat bahwa korupsi sangat signifikan dipengaruhi oleh gaji kecil yang dimiliki PNS, seharusnya ditinjau ulang lagi … manakala terbukti bahwa kasus korupsi tetap saja terjadi dan bahkan bertambah buruk (minimal menurut laporan Lembaga Internasional), dan bahkan di kalangan elit Pejabat Negara yang notabene sebenarnya sudah kaya-kaya dan menikmati fasilitas Negara itu, semakin menjadi-jadi pasca Reformasi dulu. Saya lebih percaya pada paradigma pemikiran bahwa korupsi adalah fungsi daripada penerapan ‘hukuman mati’ atau ‘potong generasi’ dalam sebuah instansi Pemerintahan ……

source: ts4l4sa @ http://www.kaskus.us