Selasa, 15 Desember 2009 | 13:14 WIBMOGADISHU, KOMPAS.com – Adegan barbar ini bukan dari Zaman Kegelapan tetapi dilakukan sebuah kelompok militan di Somalia, Minggu (13/12/2009). Kelompok itu memaksa warga desa menonton perajaman hingga tewas seorang pria yang dinyatakan melakukan perzinahan.
http://internasional.kompas.com
Apakah Islam itu sadis ?
Berikut saya kutipkan dari sumber yang lain:
Substansi Hukum Rajam
…Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu.
Hukum ini hanya dilakukan pada kasus yang sangat tercela dengan syarat benar-benar terdapat bukti menyakinkan bahwa seseorang telah berzina. Meski demikian, tidaklah sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.
Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah
(1) jumlah saksi minimal empat orang yang sudah baligh semua,
(2) saksi ini adalah orang-orang yang waras,
(3) Islam,
(4) mereka melihat langsung peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina,
(5) para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas (bukan kiasan),
(6) mereka melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dan dalam satu waktu,
(7) semua saksi harus laki-laki.
Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam dan sudah ada ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat.
Bukan dilakukan oleh orang per orang atau lembaga swasta, ormas, yayasan, pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau majelis ulama, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa. Syarat menghukumi si penzina itu adalah terpenuhinya kriteria berikut ini padanya; dia Islam, baligh, berakal, merdeka, iffah, tazwij (sudah berkeluarga).
Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshin (yang telah menikah) dihukum dengan hukuman rajam.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah Saw; dari Masruq dari Abdillah ra. berkata bahwa
Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad (keluar) dari jamaah’.
Dan tentunya hukum ini berlaku bagi semua. Dan bukan hanya menjadikan rakyat kecil sebagai objek. Tidak ada yang kebal dengan hukum Allah ini. Jika kita dikaji lebih mendalam dan cermat lagi, sebenarnya pelaksanaan hukum rajam tidak dengan begitu mudahnya dilaksanakan. Sebab untuk kategori persaksian terhadap perbuatan zina itu sendiri, Islam menggariskan persyaratan yang lumayan susah terpenuhi. Bagaimana tidak? Kesaksian perbuatan zina memerlukan empat orang saksi yang di saat bersamaan harus melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana proses zina itu berlangsung. Andaikata jumlah empat tersebut tidak terpenuhi atau kalaupun terpenuhi tapi tidak bisa dipastikan apakah ia melihat dengan sejelas-jelasnya bahwa si tertuduh melakukan perzinaan, maka kesaksiannya dianggap batal demi hukum.
Di zaman Rasulullah Saw, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung.
Seperti yang dilakukan kepada seorang wanita Maiz dan Ghamidiyah. Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya itu berzina lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Imam Hanafi, Syafi`i dan Ahmad bin Hanbal.
Secara logika akidah, dengan diberlakukannya hukuman rajam oleh Allah pada syariat umat Muhammad Saw, kita bisa meyakini bahwa bentuk hukuman seperti ini memang masih diperlukan dalam kasus-kasus tertentu di setiap zaman.
Dan meskipun orang-orang barat berteriak dihapuskannya hukuman mati, namun faktanya hukuman mati itu masih diperlukan dan masih mereka jalankan. Bahkan beberapa negara maju masih memberlakukan hukuman ini sampai sekarang. Singapura yang sering dijadikan kiblat kemoderenan di Asia Tenggara, hari ini juga masih menghukum mati orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran berat, tapi kita tidak pernah mendengar menurunnya angka investasi di negara itu, bahkan investor semakin berduyun-duyun kesana. Demikian juga Amerika yang sekarang mengangkat dirinya sebagai polisi dunia dan simbol HAM, masih tetap memberlakukan hukuman mati.
Maka kalau Allah Swt memberlakukan hukuman rajam kepada umat Islam, tentu sangat bisa diterima logika. Dan tentu sangat logis bila umat Islam dengan latar belakang kepatuhan dan ketundukan kepada originalitas agamanya, pada hari ini menerapkan hukuman rajam untuk pemeluk agamanya. Tidak ada cela dan cacat atau melanggar HAM dalam pelaksanaan hukuman seperti itu, apalagi kalau dibandingkan dengan tragedi pembantaian massal yang dilakukan oleh negara maju terhadap dunia ketiga, maka pelaksanaan hukuman rajam buat pelanggar kesalahan berat menjadi tidak ada artinya.
Bandingkan dengan angka-angka pembantaian Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Irak, Palestina, Somalia dan belahan muka bumi lainnya. Sungguh apa yang dilakukan oleh super power dunia itu jauh lebih kejam dan sadis ketimbang hukuman rajam, yang hanya menyangkut satu orang saja. Itupun pelanggar susila berat, yaitu orang yang berzina dimana dia pernah menikah sebelumnya.
Kemudian didukung oleh artikel berbahasa Inggris:
Stoning: Does It Have Any Basis in Shari`ah?
…In the very beginning of Surat An-Nur, it is stated that 100 lashes is the punishment specified for unmarried adulterer and adulteress, Allah says: (The woman and the man guilty of adultery or fornication,- flog each of them with a hundred stripes: Let not compassion move you in their case, in a matter prescribed by Allah, if ye believe in Allah and the Last Day: and let a party of the Believers witness their punishment.) (An-Nur 24: 2).
…it’s to be stressed that such punishment should not be a cause of wonder, especially when we know that it had been there in the Divine Scriptures revealed before the Glorious Qur’an. There is a reference to this punishment in the Bible, for instance.
It reads: “If a man is found sleeping with another man’s wife, both the man who slept with her and the woman must die.” (Deuteronomy 22: 22) and also in Leviticus, we find the following verse:”If a man commits adultery with another man’s wife-with the wife of his neighbor-both the adulterer and the adulteress must be put to death” (Leviticus 20: 10).
…The abrogated verse stated that “A married man and woman, if they commit adultery, stone them to death.”
This verse states clearly that the prescribed punishment for adultery, which means an illegitimate sexual intercourse between a married man and a woman married to another man is stoning to death.
But this offense must be proven either through a confession made voluntarily by the accused or by the testimony of four witnesses who state under oath that they have witnessed the commission of the crime.
It’s only after this legal procedure that the accused will be punished by lapidation. This punishment is agreed upon by scholars and there is no question about it. In citing proofs for this punishment, scholars of Hadith quote `Umar (may Allah be pleased with him) as saying that he would have written this verse if not for the fear that it would be viewed as tampering with Allah’s book.
…Finally, we would like to note that there are many incidents in the Sunnah and the life of the Prophet (peace and blessings be upon him) in which the Prophet stoned the married adulterer and adulteress to death. This happened in the case of Ma`iz and the Ghamidi woman.
All this makes it clear that the punishment is proven and authentic and is not debatable.
Semoga bermanfaat dan menjadikan kita lebih yakin lagi akan Islam sebagai rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta.